Thursday, August 23, 2007

A 62-year-old, yet Immature, Nation (me)


MERDEKA, MERDEKA, MERDEKA!

Pekik kemerdekaan membahana, memecah kesunyian langit dan hati manusia Indonesia (saat ini).

Kata merdeka, seperti halnya lengkeng yang banyak dijajakan di sepanjang jalan arah Ciputat - Parung, memang sedang datang musimnya di bulan Agustus ini. Yah, seperti halnya sang lengkeng, kata merdeka ini juga nantinya akan perlahan-tapi-pasti meredup; menghilang dari lidah-lidah tak bertulang yang meneriakkannya. Hingga akhirnya lidah-lidah itu terasa cukup kelu untuk tak meneriakkannya lagi. Entah karena sudah lelah, bosan atau tersadar bahwa kita belum merdeka sepenuhnya (seperti teriakkannya Imam Samudera dari balik sel).

Merdeka! Mumpung momennya masih tepat atau sedang datang musimnya, mari kita teriakkan MERDEKA!

Bagi saya pribadi, HUT RI yang ke 62 ini memang terasa istimewa. Teriakkan merdeka saya terasa lebih lantang tahun ini, hehehe. Bukan apa-apa, selain karena saya memang menikmati kemeriahan suasana Agustusan, juga karena bulan ini adalah bulan kedua saya menikmati kehidupan baru sebagai seorang suami. Jadi anda pasti paham kenapa pekik merdeka saya lebih lantang kali ini. Hehehe, penganten baru gitu lho!

Istimewa nya lagi, tahun ini saya bisa ikut menghadiri upacara bendera 17 Agustus yang rasanya sudah lama sekali tidak pernah saya lakukan. Sudah hampir tujuh kali upacara Agustusan yang saya lewatkan. Yang artinya tujuh tahunan lebih saya tidak upacara Agustusan. Duh. Tapi tolong jangan ragukan nasionalisme saya. Hehehe... kayanya masih ada tuh.

Hal lain yang membuat saya bisa teriak merdeka adalah sebuah kartu yang disebut surat (SIM). Meski bentuk dan ukurannya sangat mirip dengan KTP, Kartu ATM dan kartu nama, kartu yang satu ini disebut Surat Ijin Mengemudi. Meskipun SIM saya dapat dengan cara-cara jahiliyah semacam di jaman pra-kemerdekaan (pake calo berseragam; siapa sih yang engga?), perasaan saya jadi lebih tenang jika bawa motor. Ga’ takut kalau harus ke dalam kota atau ada razia di daerah Cinangka atau Parung. Tapi jadi kesel karena justru semenjak saya punya SIM, tidak sekalipun kepergok razia. Huuuh! Sial! Jadi nyesel pake jasanya polisi yang juga calo or calo yang juga polisi itu.

Well, anyway, Agustusan is Agustusan. Biar jarang upacara bendera, biar bikin SIM pake ca...eh perantara, biar banyak koruptor di negeri ini, biar apa pun lah. Rasa bangga sebagai orang Indonesia pasti bangkit lagi. Hati ini kembali bergetar melihat kibaran Bendera Merah Putih yang dibentangkan anak-anak negeri ini disertai iringan nyanyian Indonesia Raya yang satu stanza. Duh Indonesia ... i love you banget!

Thursday, May 3, 2007

Buruh bernama Guru


Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru ....
Engkau bagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda ja...sa!
Anda pasti tahu lirik lagu di atas. Ya, ini adalah penggalan lirik lagu ‘Hymne Guru’ karangan pak Sartono, seorang guru di Madiun - Jawa Timur. Setiap tahun, di tanggal 2 Mei seperti hari ini, lagu ‘Hymne Guru’ selalu dinyanyikan anak-anak sekolah dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional. Hampir semua guru dan anak sekolah, dan mungkin semua kita yang pernah mengenyam bangku sekolah tahu dan hapal lagu ‘Hymne Guru’ ini.
Ada perasaan aneh setiap kali saya menyanyikan lagu ini. Entah apa. Mungkin terharu. Terharu pada kemuliaan perkerjaan seorang guru. Di sisi lain juga terharu akan nasib memilukan sebagian besar guru-guru di tanah air kita tercinta ini. Di negeri ini, yang katanya sangat memerhatikan pendidikan sehingga mengamanatkan 20% APBN di sektor pendidikan, guru belum mendapatkan perlakuan yang layak.
Nasib guru sebetulnya tak jauh beda dengan nasib ribuan buruh yang tanggal 1 Mei kemarin berunjuk rasa menuntut perbaikan kesejahteraan. Bedanya, guru dengan embel-embel pahlawan tanpa tanda jasa dan orang yang digugu dan ditiru ini sepertinya tidak ingin menunjukkan kegetiran hidupnya dengan berunjuk rasa. Mungkin takut kegiatan unjuk rasa guru nantinya ditiru oleh murid-muridnya. Walaupun sejatinya pendidikan haruslah dimaksudkan untuk memerdekakan (liberasi). Atau mungkin juga karena guru sudah menerima nasib sebagai ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ seperti di lagu Hymne Guru itu.
Lihatlah pak Sartono, sang pencipta lagu Hymne Guru. Nasibnya sama persis dengan nasib guru yang ditulis dalam lagunya. Di umurnya yang ke 71 tahun pak Sartono memang sudah ‘pensiun’ dari pekerjaannya sebagai seorang guru. Namun kata ‘pensiun’ mungkin kurang tepat karena memang tak satu institusi pun yang memberinya pensiun. Pak Sartono berhenti mengajar karena umur. Tak pernah sekalipun diangkat menjadi PNS meskipun sudah lebih dari setengah umurnya dihabiskan untuk mengabdi pada negara. Menyedihkan? Saya tidak tahu pasti makna senyum yang tersungging di bibir pak Sartono.
Pak sartono hanyalah satu contoh dari ratusan ribu guru honorer atau kontrak yang mengalami nasib serupa. Bekerja berpuluh tahun dengan upah yang lebih rendah dari UMR dan UMP tanpa pernah diangkat menjadi PNS oleh pemerintah. Lalu apa bedanya pemerintah kita dengan para pengusaha yang didemo oleh ribuan buruh kemarin?
Sistem kerja kontrak adalah salah satu hal yang ditolak oleh aliansi buruh dalam unjuk rasanya kemarin. Sistem kontrak ditenggarai sebagai upaya pengusaha berkelit dari kewajiban memberikan berbagai fasilitas yang harus diberikan kepada seorang pegawai tetap seperti tunjangan hari raya, pesangon, dan pensiun. Dengan segala keterbatasan dana yang ada di kas negara, pemerintah mungkin bisa dimaklumi ketika belum bisa mengangkat nasib guru-guru honorer dan kontrak. Namun ketika dana yang sedikit itu malah digunakan secara tidak efisien (istilah euphemism dari tindak korupsi) untuk kegiatan studi banding bersama anak isteri ke luar negeri, hal itu sangat tidak bisa dimaklumi.
Yah, guru dengan kemuliaan profesinya di hari pendidikan nasional tahun ini nasibnya masih seperti pahlawan tanpa balas jasa. Ah, andai saja hymne guru kita seperti lagunya band Serius: Guru juga manusia!
Ciputat, 02 Mei 2007

Saturday, April 28, 2007

Nyium Bari Ngégél


Pernahkah anda mendengar peribahasa yang berbunyi ‘mencium sambil menggigit’? aslinya peribahasa ini memang tidak persis berbunyi seperti itu karena saya mengambilnya dari peribahasa sunda ‘nyium bari ngégél’. Peribahasa tersebut memiliki makna yang sepadan dengan ‘ngusap bari nyiwit,’ atau ‘mengelus sambil mencubit’, nah mungkin anda mulai paham dengan makna kedua peribahasa tersebut. Yang jelas ‘nyium bari ngégél’ bukanlah istilah untuk sebuah gaya berciuman seperti layaknya ‘French Kiss’ meskipun jika benar-benar dilakukan mungkin tidak kalah hot-nya.
‘Nyium bari ngégél’ (NBN) adalah peribahasa yang dialamatkan kepada kegiatan bermanis kata dan muka (termasuk manis bibir karena bibir memang bagian dari muka) dengan maksud sebenarnya untuk membuat celaka si lawan bicara. Sementara NBN jika diterapkan secara harfiah adalah sebuah kegiatan yang dilakukan dengan penuh hasrat yang ujung-ujungnya malah bisa menyebabkan bibir atau gusi sariawan. Bukan, bukan saya bermaksud membicarakan hal yang tidak-tidak (bukan cuma itu maksud saya). Saya hanya mencoba menggambarkan efek dari NBN yang secara denotatif bisa mengakibatkan sariawan dan secara konotatif bisa mengakibatkan kerusakan yang lebih parah dari sekedar sariawan gusi, mulut, lidah, atau mungkin juga kelamin (loh ko bisa ke situ?).
Dalam istilah lain yang mungkin lebih familiar, NBN kita kenal dengan istilah manipulatif. Menurut definisi yang saya dapatkan dari sebuah kamus di internet, adjektifa manipulatif bermakna ‘kemampuan menyuruh atau mempengaruhi orang lain dengan lihai, biasanya dengan cara yang tidak jujur’. Agak lebih umum dari makna NBN memang, namun mungkin bisa saya simpulkan bahwa NBN adalah salah satu teknik dari sifat manipulatif.
Praktek ‘nyium bari ngégél’ sangat sering kita lihat dipertunjukkan di depan publik dengan tanpa malu oleh pelakunya. Di musim kampanye contohnya, baik di panggung-panggung orasi, radio, koran, maupun televisi, para politisi ‘nyium bari ngégél’ dengan tujuan menjatuhkan lawan politiknya. Para penjahat yang bermodus operandi investasi yang bisa berlipat dalam waktu cepat misalnya, tak peduli korbannya rakyat biasa atau anggota dewan yang katanya intelek, juga menggunakan taktik ‘nyium bari ngégél’ ini. Oknum potensial ‘nyium bari ngégél’ lainnya adalah orang-orang di tempat anda bekerja! Dengan atmosfer kompetisi yang tinggi, tempat kerja bisa menjadi lahan subur praktek ‘nyium bari ngégél’. Bisa saja ‘nyium bari ngégél’ dilakukan oleh rekan kerja anda yang tidak senang dengan posisi anda atau yang menganggap anda saingan yang perlu disingkirkan.
Jika anda pernah mengikuti mata kuliah Translation di jurusan PBI UIN Jakarta, mungkin anda masih ingat dongeng ‘wajib’ tentang Mrs. Crow and Mr. Wolf. Diceritakan bahwa dengan teknik ‘nyium bari ngégél’ sang serigala mengelabui sang gagak dengan maksud mengambil sekerat daging di mulut si korban. Atau bagi anda yang suka dengan film horor klasik bertemakan hantu bule drakula pasti sering melihat praktek ‘nyium bari ngégél’ ini dengan artian sebenarnya. ‘Nyium bari ngégél’ memang sejatinya bukanlah perilaku manusiawi melainkan bisa dikategorikan hewani dan atau drakulawi (?).

Friday, April 20, 2007

Re-Born

Well - well
Re-born, asa baru, yet same old stuck mind!