Thursday, May 3, 2007

Buruh bernama Guru


Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru ....
Engkau bagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda ja...sa!
Anda pasti tahu lirik lagu di atas. Ya, ini adalah penggalan lirik lagu ‘Hymne Guru’ karangan pak Sartono, seorang guru di Madiun - Jawa Timur. Setiap tahun, di tanggal 2 Mei seperti hari ini, lagu ‘Hymne Guru’ selalu dinyanyikan anak-anak sekolah dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional. Hampir semua guru dan anak sekolah, dan mungkin semua kita yang pernah mengenyam bangku sekolah tahu dan hapal lagu ‘Hymne Guru’ ini.
Ada perasaan aneh setiap kali saya menyanyikan lagu ini. Entah apa. Mungkin terharu. Terharu pada kemuliaan perkerjaan seorang guru. Di sisi lain juga terharu akan nasib memilukan sebagian besar guru-guru di tanah air kita tercinta ini. Di negeri ini, yang katanya sangat memerhatikan pendidikan sehingga mengamanatkan 20% APBN di sektor pendidikan, guru belum mendapatkan perlakuan yang layak.
Nasib guru sebetulnya tak jauh beda dengan nasib ribuan buruh yang tanggal 1 Mei kemarin berunjuk rasa menuntut perbaikan kesejahteraan. Bedanya, guru dengan embel-embel pahlawan tanpa tanda jasa dan orang yang digugu dan ditiru ini sepertinya tidak ingin menunjukkan kegetiran hidupnya dengan berunjuk rasa. Mungkin takut kegiatan unjuk rasa guru nantinya ditiru oleh murid-muridnya. Walaupun sejatinya pendidikan haruslah dimaksudkan untuk memerdekakan (liberasi). Atau mungkin juga karena guru sudah menerima nasib sebagai ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ seperti di lagu Hymne Guru itu.
Lihatlah pak Sartono, sang pencipta lagu Hymne Guru. Nasibnya sama persis dengan nasib guru yang ditulis dalam lagunya. Di umurnya yang ke 71 tahun pak Sartono memang sudah ‘pensiun’ dari pekerjaannya sebagai seorang guru. Namun kata ‘pensiun’ mungkin kurang tepat karena memang tak satu institusi pun yang memberinya pensiun. Pak Sartono berhenti mengajar karena umur. Tak pernah sekalipun diangkat menjadi PNS meskipun sudah lebih dari setengah umurnya dihabiskan untuk mengabdi pada negara. Menyedihkan? Saya tidak tahu pasti makna senyum yang tersungging di bibir pak Sartono.
Pak sartono hanyalah satu contoh dari ratusan ribu guru honorer atau kontrak yang mengalami nasib serupa. Bekerja berpuluh tahun dengan upah yang lebih rendah dari UMR dan UMP tanpa pernah diangkat menjadi PNS oleh pemerintah. Lalu apa bedanya pemerintah kita dengan para pengusaha yang didemo oleh ribuan buruh kemarin?
Sistem kerja kontrak adalah salah satu hal yang ditolak oleh aliansi buruh dalam unjuk rasanya kemarin. Sistem kontrak ditenggarai sebagai upaya pengusaha berkelit dari kewajiban memberikan berbagai fasilitas yang harus diberikan kepada seorang pegawai tetap seperti tunjangan hari raya, pesangon, dan pensiun. Dengan segala keterbatasan dana yang ada di kas negara, pemerintah mungkin bisa dimaklumi ketika belum bisa mengangkat nasib guru-guru honorer dan kontrak. Namun ketika dana yang sedikit itu malah digunakan secara tidak efisien (istilah euphemism dari tindak korupsi) untuk kegiatan studi banding bersama anak isteri ke luar negeri, hal itu sangat tidak bisa dimaklumi.
Yah, guru dengan kemuliaan profesinya di hari pendidikan nasional tahun ini nasibnya masih seperti pahlawan tanpa balas jasa. Ah, andai saja hymne guru kita seperti lagunya band Serius: Guru juga manusia!
Ciputat, 02 Mei 2007

No comments: